Kabar mengejutkan datang dari Lion Air, maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia. Presiden Direktur Lion Air Rusdi Kirana mengatakan maskapai berlogo singa terbang itu akan memindahkan pangkalannya ke Malaysia.
Gara-garanya, Lion Air kecewa berat dengan Perum Angkasa Pura I. Awalnya Lion Air ingin membuat hub di Manado yang akan menghubungkannya ke Jepang, China, Korea, dan Taiwan. Dana Rp 7 milyar sudah habis untuk pembelian dan pembebasan tanah. Peresmian peletakan baru pertama dilakukan langsung oleh Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Eh, ujung-ujungnya Perum Angkasa Pura I meminta bagian saham Lion Air sebanyak 51%. Terang saja Rusdi Kirana marah besar.
Malaysia jeli melihat peluang ini. Malaysia lantas menawari Lion Air untuk memindahkan hub-nya ke Johor Bahru di atas tanah seluas 2.5 hektar dengan sewa hanya $ 3600 perbulan (murah sekali!). Setelah 10 tahun kawasan itu akan sepenuhnya menjadi milik Lion Air. Dan tentu saja Lion Air tidak akan direcoki dengan permintaan aneh-aneh seperti yang dilakukan Perum Angkasa Pura I.
Pemerintah kontan kebakaran jenggot. Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Perhubungan, Bambang Ervan mengatakan pemerintah menyayangkan langkah Lion Air itu dan berjanji akan membujuknya supaya jangan memindahkan investasi dari Indonesia. Jelas saja pemerintah takut dan panik, karena Malaysia sejak lama sudah menjadi hub AirAsia, maskapai penerbangan murah terbesar di Asia. Jika Lion Air pindah kesana maka lengkaplah dominasi Malaysia dalam bisnis penerbangan.
Belum lagi kita bicara tentang Malaysia Airlines yang jaringannya merambah ke lima benua dan memiliki codesharing partners dengan aliansi SkyTeam serta Star Alliance. Jangan-jangan semua maskapai penerbangan di Indonesia bisa gulung tikar digilas Malaysia, termasuk Garuda Indonesia.
Jangan selalu menyalahkan Malaysia sebagai negara maling. Mereka hanya memanfaatkan hal-hal yang dibuang di Indonesia. Ketika lagu daerah tidak lagi dinyanyikan oleh anak-anak kita, Malaysia lantas memanfaatkannya dan kita marah-marah. Ketika Sipadan-Ligitan kita telantarkan, Malaysia mengundang investor untuk masuk kesana, dan hal inilah yang menyebabkan Pengadilan Internasional di Den Haag memenangkan klaim Malaysia. Ketika doktor-doktor kita tidak dihargai di negara sendiri, Malaysia dengan senang hati memunguti doktor-doktor cerdas itu. Dan ketika Lion Air dipermainkan oleh Perum Angkasa Pura I, Malaysia mengundangnya untuk berinvestasi di negara jiran itu.
Siapa yang salah? Jelas Indonesia. Tapi kenapa kita selalu marah-marah ketika negara lain memanfaatkan kedunguan kita? Dari sejak jaman Bung Karno sampai sekarang kita selalu marah-marah dengan Malaysia. Apa hasilnya? Nol. Zero. Nil. Kosong. Yang terjadi malah sebaliknya: kita semakin miskin dan tetap marah-marah, mereka semakin kaya sambil tetap tersenyum!
Gara-garanya, Lion Air kecewa berat dengan Perum Angkasa Pura I. Awalnya Lion Air ingin membuat hub di Manado yang akan menghubungkannya ke Jepang, China, Korea, dan Taiwan. Dana Rp 7 milyar sudah habis untuk pembelian dan pembebasan tanah. Peresmian peletakan baru pertama dilakukan langsung oleh Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Eh, ujung-ujungnya Perum Angkasa Pura I meminta bagian saham Lion Air sebanyak 51%. Terang saja Rusdi Kirana marah besar.
Malaysia jeli melihat peluang ini. Malaysia lantas menawari Lion Air untuk memindahkan hub-nya ke Johor Bahru di atas tanah seluas 2.5 hektar dengan sewa hanya $ 3600 perbulan (murah sekali!). Setelah 10 tahun kawasan itu akan sepenuhnya menjadi milik Lion Air. Dan tentu saja Lion Air tidak akan direcoki dengan permintaan aneh-aneh seperti yang dilakukan Perum Angkasa Pura I.
Pemerintah kontan kebakaran jenggot. Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Perhubungan, Bambang Ervan mengatakan pemerintah menyayangkan langkah Lion Air itu dan berjanji akan membujuknya supaya jangan memindahkan investasi dari Indonesia. Jelas saja pemerintah takut dan panik, karena Malaysia sejak lama sudah menjadi hub AirAsia, maskapai penerbangan murah terbesar di Asia. Jika Lion Air pindah kesana maka lengkaplah dominasi Malaysia dalam bisnis penerbangan.
Belum lagi kita bicara tentang Malaysia Airlines yang jaringannya merambah ke lima benua dan memiliki codesharing partners dengan aliansi SkyTeam serta Star Alliance. Jangan-jangan semua maskapai penerbangan di Indonesia bisa gulung tikar digilas Malaysia, termasuk Garuda Indonesia.
Jangan selalu menyalahkan Malaysia sebagai negara maling. Mereka hanya memanfaatkan hal-hal yang dibuang di Indonesia. Ketika lagu daerah tidak lagi dinyanyikan oleh anak-anak kita, Malaysia lantas memanfaatkannya dan kita marah-marah. Ketika Sipadan-Ligitan kita telantarkan, Malaysia mengundang investor untuk masuk kesana, dan hal inilah yang menyebabkan Pengadilan Internasional di Den Haag memenangkan klaim Malaysia. Ketika doktor-doktor kita tidak dihargai di negara sendiri, Malaysia dengan senang hati memunguti doktor-doktor cerdas itu. Dan ketika Lion Air dipermainkan oleh Perum Angkasa Pura I, Malaysia mengundangnya untuk berinvestasi di negara jiran itu.
Siapa yang salah? Jelas Indonesia. Tapi kenapa kita selalu marah-marah ketika negara lain memanfaatkan kedunguan kita? Dari sejak jaman Bung Karno sampai sekarang kita selalu marah-marah dengan Malaysia. Apa hasilnya? Nol. Zero. Nil. Kosong. Yang terjadi malah sebaliknya: kita semakin miskin dan tetap marah-marah, mereka semakin kaya sambil tetap tersenyum!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar